Dilema Pembatasan Truk



‘Macet’ adalah satu kata yang paling sering melintas di benak para peminat Jakarta setiap paginya. Gubernur DKI Jakarta lah yang menjadi sasaran paling empuk untuk melayangkan protes atas permasalahan urban yang satu ini. Tak hanya datang dari warga kota biasa. Protes bahkan juga datang dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. "Kemacetan lalu lintas di kota-kota besar merupakan masalah yang serius. Kalau kita mendengarkan twitter, radio, facebook, sms, talkshow percakapan di warung kopi, di kota-kota besar termasuk di Jakarta, hampir selalu mereka membicarakan tentang kemacetan di Jakarta,” ucap Presiden saat membuka rapat paripurna kabinet di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (26/5/2011). "Kondisi ini berpengaruh kepada daya saing bisnis. Mengganggu efisiensi dalam bisnis kita," tandasnya.
Sang Gubernur pun, yang saat ini dijabat oleh Fauzy Bowo, kewalahan menghadapi permasalahan ini. Kekurangan dana dan belum dilegalisasikannya rancangaan-rancangan peraturan daerah pun dijadikan dalih. 17 instruksi Wakil Presiden (Wapres) Boediono terkait dengan penanganan kemacetan di Ibu Kota saja tak terealisasikan dengan baik. Program yang dicanangkan sejak 2 September 2010 itu kembali berakhir hanya sebagai wacana saja di tangan sang gubernur. Selain banyak dalih, sebenarnya banyak kebijakan Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, yang sepertinya kreatif namun cenderung ‘ngelantur’ dan instan. Alih-alih penertiban parkir badan jalan, pengembalian fungsi trotoar, pembangunan park and ride, atau pembenahan fasilitas transportasi, Gubernur malah memajukan jam masuk sekolah menjadi 6.30 pagi atau menghapus kebijakan three in one dengan road pricing. Kebijakan lain yakni pembatasan truk dalam ibu kota ternyata juga mengundang masalah baru.
Pengalihan arus truk dan kendaraan berat itu mulai diberlakukan ketika KTT ASEAN digelar pada 7-8 Mei 2011 pada pukul 05.00 hingga 22.00 WIB. Namun, Pemerintah DKI Jakarta memperpanjangnya hingga 10 Juni 2011 sebagai uji coba. Kebijakan ini segera menjadi polemik.
Kebijakan ini tentu saja sangat menguntungkan warga Jakarta pada jam-jam sibuk. Namun pada saat yang sama juga merugikan banyak pihak lain dan secara umum nantinya dapat mengganggu aliran distribusi barang yang berujung pada inflasi. Pihak yang paling pertama menerima dampak dari kebijakan ini tentu saja pelaku bisnis distribusi barang.
Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta adalah yang paling keras menolak. Kebijakan ini dinilai telah merugikan para pengusaha tersebut karena truk-truk angkutan pelabuhan terpaksa mengambil rute memutar menghindari jalan tol dalam kota. “Kami tetap menolak adanya pengalihan truk dari tol dalam kota," ujar Ketua Organda DKI Jakarta, Sudirman, (10/6/2011). Organda mengancam 16 ribu truk siap mogok jika pemerintah bersikeras melanjutkan pembatasan truk di jalan tol dalam kota.
Hubungan antar pemerintah daerah pun ikut terganggu. Dinas Perhubungan Tangerang Selatan melayangkan surat protes kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta terkait dengan hal ini. Kebijakan yang sudah berjalan ini telah menyebabkan truk angkutan barang melintas di wilayah pinggiran Jakarta, seperti Tangerang Selatan. "Akibatnya cukup parah, macet dan jalan banyak yang rusak," ujar Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Tangerang Selatan, Tito Satrio, Kamis, 19 Mei 2011.
Kebijakan ini juga berdampak pada naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok di Pulau Sumatra. Ketua DPD Organda Sumbar S. Budi Syukur mengatakan pembatasan izin masuk truk dari Sumatra ke Jakarta memaksa pengusaha jasa angkutan barang mengeluarkan biaya ekstra perjalanan sebesar Rp4 juta/rit-Rp8 juta/rit.
Dalam hal mengatasi kemacetan, kebijakan ini memang sangat membantu. Arus lalu lintas di ruas-ruas jalan Jakarta Barat menjadi lancar dan tertib. Tidak terlihat kepadatan di beberapa ruas jalan yang selama ini menjadi simpul kemacetan, seperti perempatan Tomang, Slipi atau tol dalam kota. “Biasanya di depan Rumah Sakit Dharmais ramai, banyak truk, tetapi sekarang lancar," kata Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Jakarta Barat, Komisaris Sungkono, Jumat, 20 Mei 2011.
            Bahkan, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang sempat akan mencabut kebijakan ini langsung diprotes oleh masyarakat Jakarta. Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), bergerak dari Bundaran Hotel Indonesia sampai ke Balaikota Jakarta menuntut agar diberlakukan kembali kebijakan pembatasan tersebut. "Komitmen Pemprov DKI dan pemerintah pusat, kan, hingga 10 Juni, tetapi kenapa sekarang sudah dicabut?" kata Ketua Amarta Rico Sinaga, Jumat (27/5/2011). Mereka memberikan dukungan penuh kepada Pemprov DKI Jakarta untuk segera mematenkan kebijakan pembatasan waktu operasional angkutan berat dan pengalihan rute lalu lintas di jalan tol dalam kota tersebut. Hal ini berhubungan dengan berbagai macam dampak positif yang muncul setelah uji coba kebijakan tersebut berlangsung.
Jumat, 10 Juni 2011 merupakan hari terakhir uji coba pembatasan truk masuk tol dalam kota Jakarta dari ruas Cawang-Tomang-Pluit. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memastikan pembatasan truk akan menjadi kebijakan permanen. “Kemarin saya sudah bicara dengan Pak Hatta Rajasa (Menko Perekonomian) dan Kapolda. Prinsipnya, kami semua sepakat melanjutkan pengaturan (pembatasan truk) seperti yang sekarang berlangsung,” kata gubernur di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 10 Juni 2011. Organda akhirnya menerima keputusan itu asal ada kompensasi atas kenaikan biaya logistik yang terjadi akibat naiknya biaya pengiriman.
Kita semua berharap bahwa kebijakan ini akan efektif untuk mengatasi kemacetan di DKI Jakarta namun tentu saja tidak berhenti disitu. Masih banyak pekerjaan rumah gGubernur yang masih terbengkalai. Kebijakan ini memang sempat menjadi polemik. Pemprov DKI Jakarta telah menghadapi sebuah dilemma dalam menjawab kepentingan warga pengguna lalu-lintas ibu kota, Organda, Dishub Tangsel dan pemerintah pusat. Namun disini kita melihat bagaimna setelah mereka duduk bersama dan bermusyawarah, mulai tanggal 10 Juni kebijakan ini dipermanentkan dan diterima semua pihak. Kita harus belajar banyak dari pengalaman ini. (dari berbagai sumber)


*Ini adalah tulisan yang saya sodorkan kepada para redaktur kompartemen Bisnis Indonesia, saat saya diwawancara untuk bekerja di koran harian tersebut. Meskipun saya tidak punya latar belakang pendidikan jurnalisme, saya nekad melamar menjadi wartawan di salah satu media bonafit di Indonesia itu. Namun, tidak ada tulisan jurnalistik dalam portofolio saya, sehingga saya menulis ini untuk membuktikan kemampuan saya dalam bidang jurnalistik. Menurut salah seorang redaktur yang mewawancara saya, tulisan saya lebih cocok menjadi surat pembaca ketimbang menjadi berita. Namun, pada akhirnya mereka tetap menerima saya bekerja. Alhamdulilah.

Komentar

Postingan Populer