Sumpah Setia di Hadapan Benda Bersejarah






Bunga Citra Arum, Ahmad Puja Rahman, & Yudha Prawira


Dian tampak gelisah. Pemuda berkulit sawo matang itu terus mondar-mandir, sambil sesekali melirik ke arah taman, tempat pesta kebun akan dilangsungkan. Wajar saja, hari ini adalah hari pernikahan antara dia dengan Nisa, gadis pilihannya.
Berbeda dari kebanyakan pasangan, Dian dan Nisa memilih melangsungkan pernikahan di sebuah gedung museum, yang berdiri sejak jaman penjajahan Belanda. Akad digelar di dalam gedung, sementara resepsi di taman yang berada di area yang sama.
Nuansa putih dan hijau menghiasi jendela-jendela raksasa khas arsitektur jaman kolonial. Cahaya dari lampu-lampu kuno dipadukan cahaya lampion yang menghiasi rangkaian bunga kertas.
Mempelai pria memakai beskap putih ala petinggi Betawi tempo dulu, lengkap dengan kopiah putih dihiasi benang berwarna emas. Kostum tersebut sangat serasi disandingkan dengan kebaya panjang serba putih yang dikenakan mempelai wanita.
Dian dan Nisa bukan satu-satunya. Dewi Darliana, pramugari salah satu maskapai penerbangan swasta nasional memilih Museum Bahari di bilangan Sunda Kelapa, Jakarta sebagai lokasi pernikahan. Menurutnya, meseum tersebut tidak hanya menawarkan lokasi resepsi, tetapi juga lokasi rekreasi. Dia berharap para undangan juga dapat menikmati koleksi-koleksi yang tersimpan di dalamnya.
Ariani, Pengelola Marketing Gedung Arsip Nasional yang berdiri pada  1760 mengatakan, sejak awal tahun 2000, tempat yang dikelolanya mulai jamak dijadikan tempat pesta pernikahan. Dalam sebulan, kini bisa terdapat empat hingga lima event pernikahan di gedung bekas tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Reinier de Klerk itu.
“Kalau sedang ramai, bisa sampai delapan atau malah sepuluh. Jika hari sabtu dan minggu sudah penuh, calon pengantin kadang memilih untuk menikah di hari Jumat,” jelas wanita berkulit putih itu.
Dengan penuh semangat Ariani menuturkan, bukan hal yang mudah untuk mempromosikan tempat yang kini dikelola oleh  pemerintah itu. Calon pengantin masih banyak yang khawatir terpaksa harus berpesta sambil hujan-hujanan, mengingat pesta seringkali diadakan di taman yang berada di tengah gedung.
Namun, lanjutnya, 80% dari mereka langsung jatuh cinta dengan keindahan taman tersebut saat malam menjelang dan lampu-lampu dekorasi mulai dinyalakan. Lagipula, Ariani juga selalu memastikan ada langkah antisipasi jika hujan benar-benar datang saat pesta kebun digelar.
Alasan utama para calon pengantin memilih untuk menikah di museum rata-rata adalah keunikan dan nuansa sejarah yang dimiliki oleh sebuah museum. Hal ini mereka yakini dapat membuat pesta pernikahan mereka tak terlupakan baik bagi para undangan, maupun mereka sendiri.

Tidak Semua Museum

 “That’s weird!” seru Wendy. Gadis asal Negeri Kincir Angin, Belanda, itu keheranan setelah mengetahui beberapa museum di Jakarta dipakai untuk penyelenggaraan pernikahan. Dia menyampaikan kekhawatirannya bahwa pemakaian museum tidak sesuai fungsinya akan berdampak buruk terhadap benda bersejarah di dalamnya.

Wendy terus berpindah dari satu koleksi ke koleksi lain di Museum Sejarah Jakarta, atau yang biasa disebut Museum Fatahillah ini. Turis asing ini begitu terpukau melihat betapa dekatnya hubungan Jakarta dan Belanda pada masa lalu. Semuanya terekam jelas di museum ini.

Dulu nenek moyangnya yang berkuasa di kota ini. Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, membangun sebuah balai kota sebagai kantornya pada 1620. Seusai kemerdekaan, gedung tersebut disulap menjadi Museum Fatahillah oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Wendy bersyukur karena ternyata, museum yang berada di jantung wilayah Kota Tua itu luput dari penambahan fungsi sebagai lokasi pesta pernikahan. Salah seorang Staff Tata Usaha Museum Sejarah Jakarta Sri Utami memastikan bangunan tersebut tidak pernah dipakai untuk keperluan pernikahan atau hajatan pribadi lainnya sepanjang tahun ini.
“Kami sebenarnya menawarkan taman ini untuk keperluan acara pernikahan dan lainnya. Akan tetapi tidak laku,” tuturnya di beranda depan kantor pengelola Museum Fatahillah.

Sri menerangkan hal tersebut dikarenakan calon pengantin keberatan jika akses ke lokasi harus melalui pintu belakang. Menurut wanita berjilbab itu, sesuai peraturan, pihaknya tidak membiarkan acara pribadi apapun menggunakan gedung utama, termasuk pintu depan, karena hanya untuk pameran koleksi museum.

“Kalaupun, gubernur DKI Jakarta atau presiden menjamu tamu negara kesini, pengelola tidak mengizinkan pemakaian ruang pameran,” tegasnya. Selama ini, lanjutnya, sebagian besar calon pengantin hanya memanfaaatkan Museum Fatahillah sebagai lokasi pemotretan foto pre-wedding.

Sementara itu, Ketua Komunitas Sahabat Kota Tua (Sakata) Mansyur Amin menyayangkan bila sebuah museum harus beralih fungsi menjadi bersifat komersil dengan alasan kekurangan dana perawatan. Dia memaklumi rendahnya alokasi anggaran rutin dari pemerintah daerah kepada museum.
“Di luar negeri saja, museum bisa makmur hanya dengan pemasukan dari kunjungan, karena didukung pendanaan yang kuat oleh pemerintah,” jelasnya.
Namun, dia juga melihat sisi positif dari perhelatan hajatan pribadi di museum karena akan semakin mendekatkan masyarakat pada museum dan gedung bersejarah lainnya. Mansyur mengingatkan fungsi utama museum jangan sampai teralihkan oleh fungsi lainnya. Selain itu, jangan sampai merusak bangunan dan benda bersejarah di dalamnya.


Omzet Ratusan Juta

Maraknya tren menikah di museum ini ternyata cukup menguntungkan bagi pengelola museum. Tarif sewa Gedung Arsip Negara, misalnya, berkisar Rp25 juta selama tujuh jam, dari pukul 16.00 hingga 23.00. Jika dikalikan dengan rerata pesta pernikahan yang mencapai enam hingga tujuh tiap bulannya, maka omzet dalam sebulan bisa mencapai Rp175 juta.
“Hasil dari penyewaan gedung kami gunakan untuk biaya perawatan museum, taman, berserta koleksinya, mengingat kami tidak memungut bayaran dari pengunjung museum,” terang Ariani.
Selain itu, Ariani juga merancang sejumlah paket pesta pernikahan dengan kisaran biaya dari Rp69 juta hingga Rp98 juta. Dia juga menggandeng sejumlah vendor catering, entertainment, maupun dekorasi untuk melengkapi fasilitas penyelenggaraan pesta pernikahan di sana. Taman Gedung Arsip Negara sendiri mampu menampung hingga 1.000 tamu
Setiap harga-harga yang ditawarkan bergantung pada jumlah porsi buffet yang diminta pihak mempelai. Untuk harga terendah, Ibu Ariani mematok Rp 69 juta untuk 500 porsi buffetsudah termasuk fasilitas gedung, dekorasi, catering, dan hiburan.
 Mungkin bagi, calon mempelai yang memiliki lebih banyak keluarga dan teman, dapat memilih paket kedua yang dibanderol Rp 87 juta untuk 800 porsi buffet. Bagi mereka yang mengantongi kocek lebih, dapat juga memilih paket tertinggi dengan harga Rp 98 juta dengan 1,000 porsi buffet yang ditawarkan.
Meski harga terlihat cukup tinggi, namun semua terbayar dengan fasilitas yang diberikan serta pelayanan dari para staff museum termasuk Ibu Ariani yang akan selalu memantau berjalannya acara. Dan pada akhirnya hanya senyum suka cita dan kepuasaan yang terefleksi pada wajah para mempelai.
Bandingkan dengan omzet dari Museum Fatahillah yang hampir seluruhnya bergantung pada penjualan tiket masuk. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini, Fatahillah sudah 340.098 kali dikunjungi. Adapun tahun lalu, 460.236 karcis masuk sudah terjual, naik 52,4% dari tahun sebelumnya.
Sri memperkirakan rata-rata dalam setahun, dengan rentang harga harga karcis dari Rp500 hingga Rp2000, Fatahillah dapat meraup pemasukan hingga Rp700 juta, atau sekitar Rp51 juta per bulan.
Meski tidak sebesar pemasukan yang diperoleh Gedung Arsip Nasional, Sri Utami tidak terlalu mempermasalahkankarena menurutnya, fungsi utama museum adalah edukasi bagi masyarakat, bukan mengeruk profit. Lagipula, biaya perawatan sebesar Rp516 juta setahun dikucurkan langsung oleh pemerintah.
“Hasil pemasukan kami melalui tiket, charge foto pre wedding, dan sejumlah acara kenegaraan seluruhnya disetor ke pemerintah,” tuturnya.
Terlepas dari berbagai pro kontra yang menyelimutinya, museum, dengan nilai sejarah dan keeksotikannya, masih memiliki daya tarik tersendiri bagi para calon pengantin untuk mengabadikan momen terindah dalam hidup mereka. Bukan masalah besar, selama kelestarian benda-benda bersejarah penghuni museum itu tidak terusik.

Komentar

  1. Benda bersejarah perlu diperhatikan untuk diambil pelajaran. Seperti dalam artikel http://bit.ly/1hdmJBD memuat himbauan kepada masyarakat Aceh untuk ikutserta memperhatikan benda bersejarah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer