Mamalia Laut yang Cerdas
Badan saya boleh masih di kantor, tetapi roh dan pikiran ini sudah terbang ke Kepulauan Seribu. Esok subuh, saya dan kawan-kawan harus sudah siap sedia di Pelabuhan Pasar Ikan Muara Angke untuk kemudian menyeberang ke satu-satunya kabupaten di DKI Jakarta itu.
Rampung menulis berita terakhir, saya meluncur ke rumah untuk berkemas dan segera ke rumah Fijar. Agar tidak terlambat tiba di pelabuhan, kami memutuskan untuk menginap di rumahnya malam ini di wilayah Kota Tua yang sangat dekat ke Muara Angke. Setelah berkemas sekedarnya, saya menghampiri Panji di check point yang sudah ditentukan, Gongseng. Karena belum tahu dimana rumah Fijar, Panji mengajak saya pergi bersama.
Kami berdua naik Bis Trans Jakarta ke Kota. Hari sudah larut dan saya terperangah mengetahui banyak jadwal bis kota itu berubah pada pukul 22.00 WIB. Bis jurusan Pinang Ranti—Grogol sudah undur diri, sehingga kami harus mengambil jurusan Kampung Melayu—Senen, untuk kemudian transit ke Harmoni. Kemudian saya terperangah untuk kedua kalinya. Ternyata, kalau dari Senen, saya harus transit di Harmoni untuk ke Kota Tua. Bagai tak berdosa, kami cuek saja lanjut hingga Tomang.
Lalu saya terperangah untuk ke-tiga kalinya, karena ternyata kalau sudah malam, bis tak tahu diri itu hanya berhenti di Mangga Besar dan terus melenggang tanpa mampir di Olimo, shelter terdekat ke rumah Fijar. Akhirnya, kami harus turun di Mangga Besar dan menempuh 1 kilometer lebih jalan kaki ke rumah Fijar di Jalan Keadilan. Sepanjang jalan, Panji yang telah mempercayakan saya sebagai navigator, ngedumel karena navigasi saya yang tidak profesional. Maaf saja, saya sudah berbulan-bulan tidak naik Trans Jakarta, apalagi saat larut malam begini.
Kami bangun pagi-pagi sekali hari itu, Sabtu 19 November 2011. Usai sarapan, kami diantarkan pamannya Fijar ke Pelabuhan Pasar Ikan Muara Angke. Kontingen Jakarta untuk Kepulauan Seribu sudah ramai berkumpul dengan masing-masing tour guide nya. Adapun, saya akan menuju Pulau Bira bersama Fijar, Panji, Yuan, Puput, dan Icha sebagai ketua kelompok tidak resmi. Icha juga mengajak teman renangnya dalam kelompok kami, Andre namanya.
Lengkap semua di tempat, kami melangkah hati-hati menuju dermaga. Inilah pelabuhan ibu kota negeri ini. Jalanannya becek tergenang air hitam keabu-abuan mengerikan. Dari pasar ikan itu, bagai hantu keluar dari sarang, menyeruak bau ikan busuk. Lalat-lalat hijau mengadakan rapat di udara. Mereka merasa terganggu sekali saat kami tidak sopan lewat di tengah-tengah majelis.
Akhirnya kami merapat di dermaga dan menemukan kapal-kapal kayu mengapung rapat sekali. Kami harus melompat dari satu kapal ke kapal yang lain untuk menggapai kapal yang akan melarikan kami dari pelabuhan terkutuk ini. KM Dolphin tertulis jelas di lambung kapal kayu bercat hijau itu. Dia telah menunggu di tengah-tengah kumpulan kapal lainnya. Saya pikir Dolphin tidak akan mampu keluar dari kerumunan saudara-saudarinya, tetapi saya salah. Setelah semua penumpang diangkut, dia menggeliat bagai belut dan perlahan keluar dari kerumunan kayu mengapung itu. Ajaib memang.
Kami segera mencari tempat untuk duduk dan meletakkan barang bawaan. Hampir tak ada ruang untuk kami, tapi syukur, akhirnya dapat juga. Kesan pertama dari kapal ini adalah horor. Bukan karena bernuansa mistis, melainkan karena hampir semua penumpang kecuali awak kapal mengenakan jaket pelampung. Ini menandakan tingkat keselamatan tranportasi laut ini rendah. Kami pasrah.
Kepercayaan saya terhadap tingkat keselamatan kapal ini semakin tiarap melihat sang kapten yang bertindak sebagai nahkoda memutar-mutar stir dengan kaki, sedangkan tangannya sibuk memainkan Black Berry setelah membakar rokok. Bayangkan, selain di tangan Tuhan, nyawa kami berada di bawah telapak kaki kapten dan itulah kesan kedua. Kesan berikutnya positif karena ternyata dalam kapal berukuran sedang ini terdapat toilet yang relatif bersih. Goncangan karena menerobos ombak memberikan sensasi tersendiri saat buang air di dalamnya.
Kesan terakhir saya dapatkan saat menemukan tempat nongkrong yang paling asik dari seluruh isi kapal, yakni atap. Di atas sana, seraya membakar kulit dengan matahari laut yang terik, kami terpukau dengan lumba-lumba yang berenang mengiringi si Dolphin. Saya tidak ragu memberikan predikat hewan terindah kepada mamalia laut yang cerdas itu. Mesin diesel Dolphin melesat meninggalkan mereka sekaligus melepaskan diri dari pelukan Teluk Jakarta dan disambut Laut Jawa.
Komentar
Posting Komentar