Langsung ke konten utama
Telusuri
Cari Blog Ini
Puja Altiar
Berbagi
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Januari 20, 2013
Air Susu dibalas Madu
Beberapa hari terakhir ini dan kemungkinan beberapa hari kedepan aku akan semakin intim dengan profesi baruku, PENGACARA (Pengangguran Gak Ada Acara). Gara-gara kelalaian masa muda, aku telat jadi sarjana. Saat teman-teman seangkatan berjibaku dengan sidang, revisi, toga, wisuda, dan liburan, aku terbenam sendiri di rumah. Aku ingin mengistirahatkan otak sebelum menghadapi skripsi semester depan, maka liburan ini aku putuskan untuk tak menyentuh buku-buku dulu.
Aku sudah mengirim beberapa surat lamaran kerja dan tengah menunggu panggilan interview yang ternyata membosankan. Kenapa membosankan? Karena duit kurang, sehingga tak bisa jalan-jalan. Belum lagi, Jakarta sedang macet-macetnya dan motor yang semakin menua, dibawa jalan jauh sedikit batuk-batuk.
Namun, kenapa aku jadi telat begitu kuliahnya sampai ditinggal teman-teman seangkatan sidang? Apa kau benar-benar ingin tahu Kawan? Ah, kau memang selalu ingin tahu saja urusan orang. Ya sudahlah ku beritahu saja. Pasang telinga caplangmu itu baik-baik. Akan aku ceritakan. Kalau kau tak menyimak benar-benar dan ada yang terlewat, tak mau aku mengulang bercerita. Paham?
Tak ada angin tak ada ombak, saat itu aku ditimpa musibah yang membuat tulang-belulang nyilu. Orang yang paling ku cintai harus pergi untuk selamanya. Satu-satunya cara untuk bertemu lagi, aku harus menjadi hamba Tuhan yang super soleh biar masuk surga dan mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf padanya. Itu tak akan mudah mengingat kualitas iman yang terus-menerus digerus era kebebasan dari barat.
Aku frustrasi dan susah khusyuk mengikuti kuliah. Tanpa banyak cincong, salah satu dosen yang terganggu dengan performaku dalam kelas menghadiahkan ‘D’. Bingkisan manis itu, bersama kawan-kawannya, segerombolan nilai ‘C’, bersekongkol merampok kesempatan untuk mengambil mata kuliah “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” tepat pada waktunya. Walhasil, aku, yang juga tak pernah mengambil semester pendek karena seluruh liburan panjang dipakai untuk mudik, tergopoh-gopoh menyusul semua mata kuliah yang terlambat.
Nasi sudah jadi bubur dan mie telah lodoh, semester ke-delapan aku tak boleh mengambil skripsi padahal jatah SKS mencukupi. Aku tak dapat bergelut dengan tugas akhir itu sebelum mata kuliah “Analisa Wacana” dan “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis” jilid dua khatam. Ini semua kesalahanku dan tak ada alasan menyalahkan orang lain. Hanya saja hati ini jadi tak enak sama Papa. Andai Mama masih ada, pasti juga sudah panjang ceramahnya. Dia selalu ingin aku jadi sarjana, tepat waktu kalau bisa, yang langsung angkat kaki dari kampus setelah empat tahun.
Dengan semua rasa bersalah dipundak aku menghadap ke pusaranya untuk meminta maaf. Dalam pelukan sepi, dalam tenangnya sore di komplek pemakaman, aku terdiam seribu bahasa, sejuta kalimat, dan bermiliar kata menekuri omelan Mama yang dongkol sama anaknya yang pemalas ini. Namun setelah semua terlampiaskan, Mama mengusap rambutku sebagaimana selalu. Lalu dia membujuk dan memaklumi ku. Mamaku memang orang yang paling mengerti aku.
“Tapi awas ya kalau telat lagi sampai setahun !!” ancamnya seraya tersenyum. Aku balas tersenyum lalu menangis dan Mama memelukku.
Omelan itu, senyum itu, tangisku itu, dan pelukannya yang menenangkan itu, semua dalam benak saja. Saat membuka mata, Mama tak ada disitu. Aku masih bersimpuh di depan pusaranya yang berkeramik hijau muda. Anak-anak disana masih sibuk dengan layangannya. Ibu-ibu di bawah itu masih asik bergosip.
Ketenangan di pemakaman tak terusik, benar-benar tempat yang nyaman untuk mati. Dengan langkah berat aku tinggalkan Mama. Aku tahu ia tak sendirian disana. Allah Yang Maha Baik pasti. Aku harus bangkit lagi. Tidak boleh terlambat lagi, apalagi sampai setahun. Bisa-bisa diomeli lagi sama Mama.
Hidupku tiba-tiba berasa seperti film action. Beberapa bulan yang lampau, aku dapat ‘D’ untuk “Analisa Wacana” atau bahasa kerennya
Discourse Analysis
. Subjek itulah biang kerok keterlambatan kuliahku dan aku harus menghapus huruf sialan itu dari kartu hasil studi nanti. Untuk semester ini Discourse Analysis (DA) ku pinang. Ini adalah ronde kedua dimana dendam harus dibalas. Yang membuat film ini semakin menegangkan, ternyata aku mendapatkan dosen yang sama dengan kelas DA sebelumnya.
Dia orang yang sama yang memberikan nilai Dodol padaku. Tapi kali ini dia akan mendapatkan mahasiswa yang berbeda, mahasiswa yang penuh semangat ’45. Dosen itu tak akan menemukan alasan untuk men-’D’ kan aku lagi.
Dalam kelas “Bahasa Inggris untuk Interaksi Akademis”, aku bertemu dengan dosen laki-laki gaek yang agak unik. Telah lama terdengar kabar burung bahwa dia agak ‘lebih perhatian’ dengan mahasiswa laki-laki. Aku tidak terlalu mengerti atau pura-pura tak mengerti maksudnya apa, yang pasti, hal itu cukup menguntungkan di pihakku. Biarlah menerima pelecehan seksual asal ‘B’sudah di tangan.
Burung-burung itu tak membawa kabar bohong. Dosen itu memang lebih perhatian kepada mahasiswa ketimbang mahasiswi. Kadang-kadang perhatiannya berlebihan. Satu semester aku dan rekan-rekan sekelasku yang cowok jadi bulan-bulanan cengan karena digodain dosen. Kalau dosennya tante-tante sih tak masalah, ini kakek-kakek. Biarlah begitu toh aku tak perlu sibuk-sibuk mengejar nilai ‘A’. Absensi ku jaga. Kalau ditanya dalam kelas ku jawab sebisaku dan sehemat mungkin. Kalau berlebihan takut disangka memberi harapan atau ajakan kencan. Aku juga tetap habis-habisan mengerjakan tugas, apalagi presentasi.
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Di kelas DA, aku tidak bisa setengah-setengah. Dosen kelas ini adalah dosen senior. Seorang wanita yang telah berumur, tapi masih tampak fresh dan bersemangat. Dia sangat cerdas dan-di luar mendok Jawanya yang kental-bahasa Inggrisnya sempurna. Dia sangat perfeksionis dan aktif. Di kelas, beliau akan dengan senang hati bermonolog. Berkali-kali dia menghimbau kami untuk aktif juga. Dia juga berjanji tak akan banyak respon saat kami presentasi. Namun, pertemuan berikutnya dia kembali ber-was-wes-wos ria. Dosen tipe ini mudah ditebak perangainya. Dia akan sangat menghargai mahasiswa yang berani menghadapinya secara terbuka dengan banyak merespon dalam kelas.
Kita juga harus talkative. Mahasiswa yang diam saja sepanjang semester seperti orang sakit gigi tak kena di hatinya. Kalau di kelasnya dulu aku menerapkan “silent is gold”, kali ini aku menerapkan “silent is goat”. Untuk mengikuti gaya mengajarnya, aku terdorong untuk lebih banyak membaca dan memahami isi kuliah. Tidak bisa asal bicara di depannya. Inti masalah yang sedang dibahas harus dimengerti matang-matang dulu. Bicara asal-mana keras-keras lagi-di tengah forum pendidikan yang terhormat ini adalah bunuh diri.
Tampaknya beliau terpukau dengan penampilanku yang cukup trengginas dalam kelas. Sampai pernah suatu hari, langit mendung membuat penyakit malasku kambuh. Bersegera aku minta izin pada sang dosen untuk tidak menghadiri kelas DA hari itu dengan alasan sakit. Beliau mengizinkan, tapi berkata bahwa sebenarnya aku diharapkan masuk karena feedback dariku sangat dibutuhkan dalam kegiatan perkuliahan di kelas kami. Hanya aku yang cukup mampu mengimbangi gaya perkuliahannya.
Akhirnya air susu dibalas madu. Perjuangan tak sia-sia. Di kedua mata kuliah itu dengan dosen-dosen seniornya yang bahkan ketua jurusan tak bisa macam-macam dengan mereka, aku mendapatkan ‘A’. Dan karena hanya dua MK saja yang ku ambil, semester ini aku dianugerahi IP ‘4’. Kini aku siap untuk skripsi walau telat !
Komentar
Postingan Populer
Januari 20, 2013
10 Hewan Paling Indonesia
Januari 26, 2013
Pemilu 2014 bukan hambatan investasi
Komentar
Posting Komentar